Ghibah dan Buthan defenisinya dan hukumnya dan apa yang dimaksud dengan Taridh
Sudah kita ketahui bersama bahwa diciptakannya manusia dan jin hanyalah untuk beribadah kepada ALLAH SWT. Menelaah kalimat suci tersebut "Dalam menjalankan hidup didunia ini tanpa terkecuali hanya dipersembahkan kepada sang Khalik" Nah dalam menjalankan kehidupan sosial sehari-hari terkadang kita tidak menyadari ada saja sesuatu yang dapat membuat kita melakukan perbuatan salah, dosa atau perbuatan yang tidak mengikuti hukum ALLAH. Karena memang fitrah manusia itu sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa ada manusia yang lain. Terkadang tanpa disadari keinginan kita ingin berbincang-bincang tentang sesuatu akhirnya membicarakan kehidupan orang lain.
Membicarakan orang lain dalam ajaran islam itu ada aturannya dan kapan hal itu boleh disampikan atau dibicarakan, jangan-jangan kita termasuk orang-orang yang melakukan GHIBAH atau BUTHAN. Apa itu Ghibah dan Butah, dalam postingan ini saya akan meneruskan informasi ini hanya kepada Ikhwan-Ukhti saudara seiman dan seakidah sehingga kita selamat dalam menjalankan kehidupan dunia dan akhirat.
Defenisi Ghibah
Bolehkah meng-ghibah sekelompok umat atau pribadi tertentu ?, Bagaimana hukumnya ?, Berilah kami jawaban ringkas dan jelas agar dalam beramar ma'ruf dan bernahi mungkar kami mempunyai referensi yang sesuai dengan kekuatan ilmu dan hikmah.
Pokok pembicaraan kali ini telah sama-sama kita maklumi bahkan Rasulullah sendiri dalam sebuah hadits shahih pernah ditanya tentang ghibah, beliau pun menjawab :
"Ghibah adalah engkau menceritakan sadaramu tentang sesuatu yang ia benci". Sipenaya kembali bertanya, "Wahai Rasulullah bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakannya itu benar apa adanya ?" Rasulullah SAW menjawab : "Kalau memang benar apa adanya, tiu ghibah namanya. Jika tidak engakau berbuat Buthan (dusta)." (HR. Muslim, Tirmizi, ABu Dawud dan Ahmad)
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW ; telah menjelaskan perbedaan antara keduanya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an : "Dan mengapakah tiada kamu katakan ketika kamu mendengarnya bahwa kita tidak sepatutnya bercakap-cakap tentang hal ini. Maha Suci engkau ya Allah inilah suatu (buthan) kebohongan yang besar." (An-nur:160)
"...dan tidak akan mengadakan kedustaan (buthan) yang mereka ada-adakan antara tangan dan 'kaki mereka'....."(Al-Mumtahinah :12)
Dan dalam hadits shahih disebutkan "Yahudi itu adalah kamu pendusta."(HR.Bukhari dan AMad)
Hukum berdusta dan Ta'ridh
Berdusta kepada siapapun haram hukunya, baik terhadap seorang muslim maupun kafir, baik kepada ahluttaqwa maupun pendurhaka. Tetapi dusta terhadap seorang mukmin lebih haram hukumnya.
Jika ada kebutuhan untuk berdusta yang berkaitan dengan syariat, maka pada saat itu dperkenankan. Hal ini dinamakan Ta'ridh yaitu suatu ucapan yang mengandung maksud tertentu yang diharapkan dapat dipahami lain oleh lawan bicara. Bila yang diucap itu menyalhai apa yang ia maksudkan itulah dusta yang sebenarnya. Dan apabila sesuai dengan apa yang dimaksudkan tetapi menyalahi apa yang dipahami oleh lawan bicara. Itulah yang dinamakan dengan Ta;ridh. Jadi ta'ridh termasuk dusta dilihat dar segi pemahaman dan bukan dari segi tjuan akhir yang akan dicapai. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah SAW, bersabda:
"Ibrahim tidaklah berdusta kecuali tiga bentuk dusta yang pernah ia lakuan dalam rangka membela agama Allah :
1. Ucapannya kepada Siti Harah : Ukhti (saudara perempuanku)
2. Ucapannya kepda Raja : "Bahkan berhala yang besar ini yang melakukannya.
3. Dan ucapannya : "Sesungguhnya aku ini sakit." (HR. Muslim, Tirmizi, ABu Dawud dan Ahmad)
Tiga dusta yang dilakukan Nabi Ibrahim As dalam hadits tersebut dinamakan ta'ridh, para ulama menjadikan hadits tersebut sebagai dalil dibolehkannya ber-ta'ridh bagi orang yang dianiaya.
Ada sebagiann ulama yang mengatakan, apa yang dirukhsakan (dispensasi) oleh rasulullah SAW, termasuk Ta'ridh sebagaiman tersebut dalam hadits Ummu Kultsum binti 'Ubah. Rasulullah SAW bersabda : "Tidaklah termasuk dusta, orang yang mengishlah antar manusia, lalu dia mengatakan baik atau menunjukkan kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi, ABu Dawud).
Jadi tidak boleh dusta kecuali dalam 3 hal :
1. Dalam rangka berbuat ishlah (kebaikan)
2. Dalam perang.
3. Dalam hal mengakurkan hubungan suami istri.
Itu semua termasuk Ta'ridh, disamping ketiga hal diatas Rasulullah SAW meniadakan dusta kecuali jika dilihat dari segi maksud dan tujuan akhirnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits "Perang itu tipu daya." (HR. Bukhari, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hal ini terlihat jelas apabila Rasulullah SAW, hendak pergi berperang, beliau ber-tauriyah (menyembunyikan maksud yang sebenarnya) dan memperlihatkan yang lain. Dengan strategi yang diambil oleh Rasulullah SAW ini keluar ucapan dari bibir Abu Bakar Siddieq ra tentang Nabi : "Ia adalah seorang laki-laki yang menunjukkanku jalan." (HR. Ibnu Sa'ad)
Begitu pula halnya ketika seorang lelaki bersumpah atas seorang muslim yang hendak ditawan oleh orang-orang kafir, lelaki itu berkata, "Dia adalah saudaraku". Maksudnya ialah saudara seiman, sedangkan mereka (orang kafir) memahaminya sebagai saudara senasab.
Ketika Rasulullah SAW mendengar kejadian itu, beliau bersabda : "Kalau memang begitu yang engkau lakukan, maka sesungguhnya engkau orang yang paling baik dan benar, sebab sesungguhnya orang muslim itu bersaudara dengan muslim lainnya". (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam keterangan diatas Nabi membedakan antara Ghibah dan Buthan, dan belau bahwa orang yang menceritakan saudaranya dengan sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar, itulah ghibah. Sebagaimana tersebut dalam hadits bahwa ghibah iaalah engkau menyebutkan atau menceritakan saudaraku tentang apa-apa yang ia benci. Allah SWT pun dalam Al-Qur'an telah berfirman, siapa saja yang berbuat ghibah berarti ia seperti pula memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah SWT berfirman : "janganlah sebagian kamu mengunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik memakannya". (Al-Hujarat : 12)
Dengan demikian jelaslah, Ghibah hukumnya haram. Haram disini disebabkan orang yang diceritakan keburukannya adalah saudaranya seiman. Semakin tebal iman seseorang yang diceritakan keburukannya (ghibah) maka semakin haram hukumnya.
sumber : PUSTAKA AL KAUTSAR, diterjemah oleh Abu Azzam, Penulis : Ibnu Taimiyah, Imam Sayuthi, Iman Syaukani
0 komentar on Fatwa Syaikul Islam Tentang GHIBAH :
Post a Comment and Don't Spam!